Ketua SP TSK SPSI : Pasca PSBB, Buruh Harus Diliburkan
Pasca keluarnya PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, mestinya perusahaan sudah harus meliburkan karyawannya. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) PP No. 21 Tahun 2020 jo. Pasal 59 ayat (3) UU NO. 6 Tahun 2018 bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar salah satu diantaranya adalah peliburan tempat kerja.
Maka sebagai konsekuensi dari ditetapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pemerintah beberapa hari lalu, perusahaan – perusahaan yang masih mempekerjakan karyawannya dengan cara datang langsung ke pabrik maka harus diliburkan.
Begitulah salah satu petikan pernyataan Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi, Moch. Popon ketika diminta komentarnya terkait dengan masih banyaknya perusahaan di wilayah Kabupaten Sukabumi yang masih mempekerjakan buruhnya di pabrik.
“Sebagai konsekuensi dari ditetapkannya PSBB, maka tidak ada alasan bagi pemerintah untuk membiarkan perusahaan-perusahaan di wilayah Kabupaten Sukabumi masih mempekerjakan karyawannya di pabrik. Setelah ditetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, pabrik harus diliburkan. Ini bukan menurut pendapat pribadi, tapi menurut PP No. 21 Tahun 2020 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah”, tegas Moch. Popon dengan nada serius.
Menurut Popon pemerintah pusat yang sudah menetapkan Pembatasan Sosial Skala Besar tidak akan mampu memutus rantai penyebaran Virus Corona atau Covid-19 apabila pembatasan itu dilakukan secara diskriminatif hanya untuk masyarakat non buruh saja, sementara terhadap buruh-buruh yang bekerja di pabrik tidak diberlakukan, sementara mereka sangat rentan penularan Covid 19 karena jumlahnya ribuan bahkan belasan dan puluhan ribu yang berkerumun dalam satu lokasi perusahaan yang sama.
"Saya melihat pemerintah pusat dan daerah ragu-ragu untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar ini. Padahal penyebaran corona virus atau COVID-19 ini perlu diatasi segera agar penyebarannya tidak semakin meluas dan tidak menimbulkan bencana kemanusiaan lebih lbesar lagi. Kalau aturannya sudah ada tapi tidak dijalankan buat apa, kan itu sama saja membuat senjata untuk memerangi kejahatan tapi susah-susah bikin senjata ekh senjatanya tidak digunakan, ya kejahatannya semakin merajalela", kata Popin dengan memberikan perumpamaan.
Terkait dengan upah saat diliburkan, menurut Moch. Popon hal itu menjadi titik krusial selama ini yang jadi tarik - menarik antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Buruh saat diliburkan karena wabah virus corona ingin upahnya dibayarkan penuh, karena tidak bekerjanya buruh bukan atas kemauan buruh sendiri tapi karena wabah penyakit yang membahayakan bagi buruh sendiri dan masyarakat secara luas. Sementara pengusaha tetap ingin 'no work no pay', karena menganggap bahwa wabah penyakit atau virus corona ini diluar kendali dan keinginan pengusaha.
Tapi terlepas dari belum adanya aturan yang mengatur secara jelas terkait protokol perlindungan upah atau belum diatur pada saat terjadi wabah penyakit seperti saat ini, Popon meminta perusahaan-perusahaan yang dalam Peraturan Perusahaan atau PKB nya belum mengatur soal perlindungan upah saat terjadi wabah penyakit untuk membayarkan upah buruh secara penuh.
Terkait dengan pelaksanaan pembayaran upah saat diliburkan karena terjadi wabah virus corona ini bisa menggunakan mekanisme perundingan atau kesepakatan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. agar buruh tidak menjadi pihak yang dikorbankan dalam situasi krisis wabah virus corona atau Covid-19 ini.
Menurut Popon, mestinya pemerintah pada saat mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar juga dibarengi dengan adanya aturan yang memberikan perlindungan bagi buruh saat diliburkan saat terjadi wabah virus corona ini termasuk misalnya untuk perlindungan upahnya.
Pemerintah juga, lanjut Popon baik di pusat maupun di daerah untuk segera mengalokasikan anggaran dari APBD atau APBN untuk kompensasii bagi buruh saat diliburkan. Hal itu untuk mengantisipasi dari tidak dibayarkannya upah saat diliburkan saat terjadi wabah virus corona oleh pengusaha. Karena berdasarkan informasi yang masuk belum ada satupun perusahaan khususnya perusahaan padat karya yang membayarkan upahnya secara penuh saat karyawannya diliburkan secara total terkait dengan terjadinya wabah corona virus atau Covid-19 ini.
“Memang yang menjadi kendala sampai saat ini berdasarkan informasi yang diterima dari serikat pekerja atau serikat buruh yang ada di perusahaan, perusahaan-perusahaan masih keberatan membayarkan upah buruh saat diliburkan, karena belum adanya protokol perlindungan upah saat terjadi wabah penyakit seperti virus corona yang terjadi saat ini. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri memang tidak mengaturnya secara jelas. Dan ini tantangan kita yang sampai saat ini serikat pekerja di perusahaan masih terus melakukan negoisasi, agar upah tetap dibayarkan ”, tambah Moch. Popon.
Terkait soal upah buruh saat diliburkan karena wabah virus corona ini, menurut Popon serikat pekerja dan serikat buruh juga kecewa dengan sikap pemerintah yang bersikap abu-abu hanya mengeluarkan himbauan, anjuran dan edaran semata tanpa memberikan pijakan dan standar hukum yang jelas mengenai pembayaran upah buruh saat diliburkan secara total ketika terjadi wabah virus corona ini.
"Mulai menteri dan pejabat lainnya hanya memberikan anjuran dan himbauan, banternya paling edaran agar upah buruh dibayar saat diliburkan. Pertanyaan saya ketika pengusaha tidak membayar upah saat diliburkan saat terjadi wabah virus corona, pemerintah mau berbuat apa untuk memberikan perlindungan terhadap buruh, bisa memberi sanksi pengusaha atau tidak? Jadi kelihatannya pemerintah tidak jelas dan bersikap abu-abu. Karena kalau mau bersikap tegas pemerintah bisa saja mengeluarkan aturan baik melalui PP, Keppres atau Peraturan Menteri atau Kepmen untuk mewajibkan pengusaha membayar upah saat diliburkan berikut dengan aturan sanksi bagi yang melanggarnya.", tegas Popon dengan nada kesal.
Karena pembatasan sosial skala besar ini lanjut Moch Popon sudah ditetapkan oleh pemerintah, maka pemerintah juga harus bertanggung jawab terhadap semua konsekuensi termasuk di dalamnya menyediakan anggaran baik dari APBD maupun APBN untuk dialokasikan bagi kompensasi upah bagi buruh saat diliburkan, apabila pihak pengusaha tidak mau memberikannya secara penuh saat buruh diliburkan tersebut.
"Beda ceritanya kalau diliburkannya buruh itu karena perintah penguasa negara atau pemerintah melalui aturan hukum yang dibuatnya seperti, PP No. 21 Tahun 2020 ini, maka dengan menggunakan logika awam saja mestinya negara atau pemerintah harus mengambil alih tanggung jawab untuk memberikan kompensasi upah kepada buruh ketika pengusaha menolak atau keberatan untuk memberikannya. Atau bisa saja penguasa negara atau pemerintah mengeluarkan aturan lain yang mengharuskan pengusaha atau pemberi kerja membayarkan upah kepada buruh, saat negara mengambil suatu kebijakan yang wajib dilaksanakan untuk pencegahan suatu wabah penyakit seperti yang terjadi saat ini", tambah Moch Popon dengan nada yang meninggi.
Disamping itu juga SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi meminta pemerintah daerah untuk segera merumuskan langkah-langkah antisipatif agar situasi kritis ini tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak atau pengusaha yang kurang bertanggung jawab yang ingin memanfaatkan meliburkan buruh atau karyawan karena situasi wabah virus corona ini dijadikan kesempatan untuk menghindar dari kewajiban membayar upah dan Tunjangan Hari Raya atau THR mengingat beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan puasa.
Menurut Popon, kondisi saat ini dikhawatirkan tidak saja dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar upah dan THR saja, tapi juga harus diwaspadai jangan sampai desakan meliburkan karyawan ini dimanfaatkan oleh pengusaha yang kurang bertanggu jawab untuk melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK secara diam-diam yang dilakukan secara serampangan dengan tidak memberikan hak-hak normatif buruh.
“Pemerintah harus menurunkan aparaturnya, kalau perlu dibentuk tim khusus semacam desk penanganan PHK dan meliburkan buruh saat terjadi wabah virus corona, untuk melakukan upaya antisipatif agar kondisi tidak baik ini tidak dimanfaatkan oleh pengusaha untuk menghindar dari kewajiban membayar upah dan THR, termasuk jangan sampai dimanfaatkan untuk melakukan PHK secara diam-diam denga tidak diberikan pesangon. Kalau hak-hak normatif buruh diberikan, kita gak terlalu keberatan. Tapi kalo PHK nya dilakukan secara diam-diam dan buruh tidak diberikan hak normatifnya itu sangat merugikann bagi buruh sendiri”, pungkas Popon.