SOAL UMK 2019 : GUBERNUR JABAR JANGAN MAU DIDIKTE PENGUSAHA
Soal ditetapkan atau tidaknya Upah Minimum Kabupaten (UMK) Tahun 2020 oleh Gubernur Jawa Barat terus menjadi perbincangan di kalangan aktivis buruh, khususnya mereka yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh.
Menghangatnya isu soal penetapan UMK ini dimulai dengan surat Menteri Tenaga Kerja RI yang baru, Ida Fauziah yang menerjemahkan sendiri kalimat ‘dapat’ dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan menjadi ‘tidak wajib’.
Untuk di Jawa Barat sendiri meng-eksploitasi kata ‘dapat’ menjadi tidak wajib itu dilakukan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jaw Barat dalam surat Nomor : 561/7575/HI & Jamsos tertanggal 6 Nopember 2019 Perihal : Penyampaian Upah Minimum yang ditujukan kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten/Kota, yang kemudian menimbulkan polemik dan mendapatkan perlawanan dari kalangan pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh.
Dalam ketentuan Pasal 46 ayat (1) PP 78 Tahun 2015 yang berbunyi : Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota. Kata ‘dapat’ dalam peraturan tersebut sudah tercantum sejak PP 78 Tahun 2015 diundangkan, tapi kenapa baru dipersoalkan hari ini. Dan yang perlu diingat, bahwa walaupun kata ‘dapat’ sudah tercantum sejak PP 78 Tahun 2015 tapi setiap tahun Gubernur di semua propinsi sudah menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) sesuai amanat UU No. 13 Tahun 2003 dan PP No. 78 Tahun 2015.
Memang tidak ada yang salah dari apa yang disampaikan oleh Menteri Tenaga Kerja RI, Ida Fauziyah dan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Barat, tapi itu menunjukkan betapa buruknya manajemen komunikasi pemerintahan dibidang ketenagakerjaan dan rentan mengundang kontroversi yang bisa berujung pada terjadinya gejolak dikalangan buruh.
Cara berkomunikasi yang kuang baik khususnya dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Propinsi Jawa Barat langsung direspons oleh kalangan yang ‘mengatasnamakan’ pengusaha dengan mengajukan berbagai keberatan kepada Gubernur Jawa Barat untuk tidak menetapkan UMK Tahun 2020.
Ketika diminta pendapatnya berkaitan dengan polemik penetapan UMK 2020, Ketua Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi mengatakan bahwa polemik dan kontroversi serta ancaman gejolak lebih disebabkan oleh buruknya manajemen komunikasi dari para pejabat dibidang pemerintahan khususnya Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Trnasmigrasi Propinsi Jawa Barat.
‘Mungkin karena Kepala Disnakertrnas Propinsi Jawa Barat bukan orang yang paham dengan dunia perburuhan, karena sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan dunia ketenagakerjaan atau perburuhan, sehingga ketika mendapatkan tekanan dari kalangan pengusaha menanggapinya secara dangkal tanpa dihitung dulu resikonya”, tegas Moch. Popon, selaku Ketua SP TSK SPSI Kab. Sukabumi beberapa waktu lalu.
Pemerintah, lanjut Moch. Popon ketika menghadapi dampak kelesuan ekonomi mestinya membuat terobosan yang cerdas dengan memeperbaiki sistem perijinan atau debirokratisasi, atau memberikan insentif baik fiskal maupun non fiskal sehingga kondisi ekonomi bisa tetap stabil bukan malah mengambil jalan pintas dengan cara mengkambinghitamkan upah dan mengorbankan kaum buruh.
“Silahkan saja pemerintah membantu pengusaha tapi jangan dengan cara mengorbankan kaum buruh dan jangan merusak tradisi yang sudah berlangsung baik selama ini”, tambah Moch. Popon.
Pada bagian lain Moch. Popon juga menyampaikan bahwa kalau pemerintah mau membantu pengusaha sebenarnya banyak cara yang dilakukan secara legal dan tidak perlu merusak kebiasaan yang baik yang sudah berlangsung belasan tahun selama ini, misalnya dengan cara memberikan ruang bagi pengusaha yang tidak mampu untuk menjalankan UMK dengan mengajukan penangguhan upah. Tapi penangguhan upah itu dilakukan setelah UMK ditetapkan terlebih dahulu oleh Gubernur.
“Dan Gubernur Jawa Barat dalam menampung aspirasi dari kalangan pengusaha itu mesti melakukan verifikasi dulu secara benar, apakah yang mengajukan keberatan penetapan UMK itu benar merupakan pengusaha atau hanya sekedar karyawan biasa yang mengatas-namakan atau disuruh oleh pengusaha? dimana lokasi atau domisili perusahaannya? Kesulitannya disebabkan oleh apa? Apa benar oleh upah atau tata kelola perusahaan yang buruk? Dan semua keberatan dari kalangan pengusaha itu harus didukung oleh data yang valid, bukan hanya sekedar omong kosong belaka”, jelas Moch Popon dengan nada yang serius.
Kalau sampai Gubernur Jawa Barat didikte oleh pengusaha sampai tidak mau menetapkan UMK Tahun 2020 maka hal tersebut akan menjadi preseden buruk dan itu artinya Gubernur Jawa Barat akan mewariskan sejarah buruk bagi buruh, dan itu akan selalu diingat oleh kaum buruh di Jawa Barat.