Kecuali DKI, Penetapan UMP Sudah Tidak Relevan
Pasca berlakunya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dimana penetapan upah minimum setiap kabupaten/kota didasarkan pada formula sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 44 PP 78 Tahun 2015.
Dengan ketentuan Pasal 44 PP No. 78 Tahun 2015 tersebut artinya penetapan upah minimum kabupaten/kota didasarkan pada formula baku yakni menggunakan rumus : UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % Δ PDBt)}.
Dimana penetapan upah minimum tahun yang akan didatang didasarkan pada perhitungan penjumlahan upah minimum tahun berjalan ditambahkan dengan hasil perkalian antara tingkat inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang berlaku secara nasional.
Terkait hal tersebut, Ketua Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi, Moch. Popon menegaskan bahwa berdasarkan formula baku yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan tersebut, maka penetapan Upah Minimum Propinsi (UMP) sebenarnya sudah tidak relevan lagi keberadaannya.
Moch. Popon lebih lanjut menjelaskan bahwa keberadaan upah minimum propinsi atau UMP awalnya dimaksudkan sebagai jaring pengaman atau sebagai batas terendah bagi daerah kabupaten / kota dalam penetapan upah minimum di kabupaten atau kota masing-masing. Atau dengan kata lain, upah minimum kabupaten/kota tidak boleh lebih rendah dari upah minimum propinsi atau UMP.
“Kecuali DKI, penetapan upah minimum propinsi atau UMP untuk daerah-daerah lain sebenarnya sudah tidak relevan lagi bahkan terkesan hanya menambah-nambah pekerjaan yang tidak perlu”, tegas Moch. Popon ketika diminta komentarnmya beberapa waktu lalu.
Dengan mengacu pada formula penetapan upah minimum yang didasarkan pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang berlaku secara nasional, maka sangat tidak mungkin ada kabupaten atau kota yang bisa menetapkan upah minimum dibawah UMP, karena kenaikan upah minimum didasarkan pada formula yang sama yang berlaku secara nasional. Kalau kemudian ada kabupaten atau kota yang menetapkan upah dibawah UMP, itu artinya tidak sesuai atau tidak mengacu pada formula baku yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015, dan itu pasti atau seharusnya ditolak oleh Gubernur sebagai pihak yang menetapkan atau menandatangani surat keputusan mengenai upah minimum kabupaten atau kota setiap tahunnya.
Penetapan upah minimum propinsi atau UMP hanya masih relevan untuk Propinsi DKI Jakarta, karena kota kabupaten yang berada di wilayah Propinsi DKI Jakarta hanya merupakan daerah administrative yang tidak diberikan kewenangan untuk mengajukan atau mengusulkan upah minimum.
Berdasarkan penjelasan diatas, sebenarnya Gubernur dan dewan pengupahan propinsi di luar wilayah DKI Jakarta tidak usah menambah-nambah pekerjaan yang tidak perlu untuk melakukan pembahasan mengenai upah minimum propinsi. Lebih baik tenaga dan pikirannya atau bahkan alokasi anggarannya untuk pembahasan upah minimum propinsi dialokasikan kepada hal lain yang lebih bermanfaat.
Gubernur dan dewan pengupahan propinsi di luar wilayah DKI Jakarta mestinya hanya fokus pada pembahasan dan penetapan upah minimum kabupaten atau kota yang diusulkan oleh pemerintah kabupaten atau kota di wilayahnya untuk ditetapkan dalam surat keputusan gubernur.