Refleksi May Day 2024 : Quo Vadis Gerakan Buruh Sukabumi ?
Pendahuluan
Pembentukan UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh merupakan amanat konstitusi, khususnya Pasal 28 UUD 1945, yang mengatur bahwa : “ kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang ”.
Ketentuan tersebut mengakui adanya kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk berserikat sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingannya, melalui pikiran-pikiran yang disampaikan baik secara lisan maupun tulisan.
Lahirnya UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh juga dilatari oleh kesadaran politik dan sejarah atas pengalaman saat rezim orde baru selama 32 tahun berkuasa yang cenderung refresif dan otoriter dan sangat membatasi kebebasan masyarakt sipil.
Secara kuantitatif, lahirnya UU No. 21 Tahun 2000 telah mendorong lahirnya banyak organisasi serikat pekerja atau serikat buruh, baik serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan, maupun serikat pekerja dalam bentuk federasi maupun konfederasi
Setelah 5 tahun paska dikeluarkannya UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, tercatat ada 3 konfederasi, 86 federasi, dan 11.852 unit serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan atau pabrik.
Pada tahun 2015, berdasar hasil verifikasi Kementerian Tenaga Kerja terdapat 14 Konfederasi, 120 Federasi, dan 12.302 unit SP/SB di tingkat pabrik. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah mengingat begitu mudahnya syarat pendirian Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia, termasuk pendirian di tingkat konfederasi dan federasi dan serikat independent (non-afiliasi).
Tapi penambahan jumlah signifikan serikat pekerja atau serikat buruh dalam bentuk federasi dan konfederasi tersebut, tidak paralel dengan tingkat partisipasi pekerja atau buruh dalam keanggotaan serikat pekerja atau serikat buruh itu sendiri.
Sejak diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2000 jumlah anggota serikat pekerja atau serikat buruh trend-nya terus mengalami penurunan yang signifikan. Data dari Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia menunjukkan jumlah keanggotaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2008 yang berjumlah sekitar 3,9 juta pekerja/buruh. Setelah tahun 2008, jumlah pekerja yang terdaftar sebagai anggota serikat terus mengalami penurunan dan mencapai hanya 1, 6 juta pada tahun 2015.
Dan trend penurunan itu bukan hanya pada tingkat partisipasi pekerja atau buruh dalam keanggotaan serikat pekerja atau serikat buruh, tapi juga penurunan pada jumlah serikat pekerja atau serikat buruh yang ada di perusahaan atau pabrik.
Data Kemenaker juga menunjukkan bahwa jumlah serikat pekerja atau buruh di perusahaan atau pada tingkat pabrik pada 2017, dari 230.000 perusahaan pada tahun 2017, hanya ada 7000 perusahaan yang ada serikat pekerjanya atau mengalami penurunan dari sebelumnya pada tahun 2007 yakni ada 14.000 perusahaan (Oke Finance, 28 Maret 2018).
Terakhir dari Data BPS melaporkan hanya ada 12,04% atau kira-kira 12 dari 100 pekerja atau buruh dengan status buruh atau pekerja bebas yang telah bergabung dengan serikat pekerja pada tahun 2021 (BPS, 8 April 2022).
Berdasarkan data diatas, kemudahan syarat mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2000 bukanlah menjadi jaminan semakin meningkatnya jumlah dan kesadaran pekerja atau buruh untuk berserikat atau menjadi anggota serikat pekerja atau serikat buruh.
10 Tahun Terakhir Gerakan Buruh Secara Nasional Nyaris Gagal Total
Kalo mau dicermati, gerakan buruh secara nasional baik secara sendiri – sendiri maupun secara bersama dalam bentuk koalisi atau aliansi gerakan buruh yang mempersatukan diri dalam sebuah gerakan bersama untuk melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kaum buruh dalam rentang waktu 10 tahun terakhir ini bisa dibilang nyaris gagal total.
Mulai dari penolakan Peraturan Pemerintah RI No. 78 Tahun 2015 yang dianggap menurunkan standar kebutuhan layak dalam penentuan upah minimum, dan terakhir puncaknya ketika pemerintah menggulirkan Rancangan Undang – Undang Omnibus Law Cipta Kerja, gerakan buruh secara nasional tidak bisa membendung niat pemerintah untuk menggolkan undang – undang atau kebijakan yang dianggap merugikan bagi kaum buruh.
Disamping dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu semakin menguatnya konsolidasi kekuasaan dan politik parlemen yang dikuasai para pemilik modal atau yang berpihak pada kepentingan para pemilik modal, kegagalan gerakan buruh itu sendiri dipengaruhi karena kurang solidnya konfederasi dan federasi pada tingkat nasional dalam mempersatukan sikap dan kekuatan buruh.
Dimana tidak sedikit konfederasi dan federasi serikat pekerja / serikat buruh pada tingkat nasional terfragmentasi dalam kepentingan jangka pendek dan juga menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan. Hal ini terbukti ketika, gerakan buruh melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang mengesahkan UU Cipta Kerja, pada satu sisi ada serikat pekerja atau serikat buruh yang melakukan perlawanan di jalanan maupun melalui jalur hukum dengan upaya uji formil dan uji materiil di Mahkamah Konstitusi RI, tapi ada juga sebagian serikat pekerja atau serikat buruh yang berada di blok pemerintah yang menjadi saksi pemerintah, ketika UU Cipta Kerja itu di Judicial Review (JR) oleh sebagian serikat buruh di Mahkamah Konstitusi RI.
Mulusnya upaya pemerintah dalam menggolkan UU Cipta Kerja tersebut juga dipengaruhi oleh banyaknya praktek – praktek pelanggaran norma perburuhan yang diabaikan dilapangan yang diakibatkan baik karena lemahnya pengawasan maupun karena tidak berdayanya buruh atau serikat pekerja atau serikat buruh yang ada di daerah atau di perusahaan – perusahaan, jauh hari sebelum UU Cipta kerja disahkan.
Faktanya, sebelum UU Cipta Kerja disahkan tidak sedikit perusahaan yang sudah mempraktekkan kerja kontrak tanpa batas, praktek alih daya yang tidak sesuai aturan dan bahkan tidak sedikit pelanggaran hak normatif buruh yang dibiarkan oleh buruh itu sendiri yang bekerja di perusahaan atau bahkan oleh serikat pekerja atau serikat buruh yang ada di perusahaan. Sehingga hal tersebut seolah memperkuat legitimasi pemerintah untuk melegalisasi atau mem-formalkan praktek – praktek penyimpangan norma perburuhan tersebut dalam sebuah peraturan atau undang – undang baru yang disebut Omnibus Law Cipta Kerja.
Pandemi Covid : Melahirkan Tatanan Baru
Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga mempengaruhi kondisi perekonomian, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Pandemi ini menyebabkan beberapa pemerintah daerah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berimplikasi terhadap pembatasan aktivitas masyarakat, termasuk aktivitas ekonomi, aktivitas pendidikan, dan aktivitas sosial lainnya. Menurunnya berbagai aktivitas ini berdampak pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat rentan dan miskin
Dampak lain yang dirasakan akibat munculnya wabah covid 19 atau dikenal Pandemi Covid 19 di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia memberikan pengaruh yang signifikan dalam perilaku masyarakat pada umumnya baik dalam berkomunikasi dan bersosialisasi, dalam melakukan mobilisasi termasuk juga berpengaruh dalam perilaku bisnis antar negara.
Banyak tindakan dan kebijakan pemerintah dan para pelaku bisnis termasuk juga gerakan buruh yang berubah karena pandemi tersebut, termasuk juga perubahan terhadap supply chain atau rantai pasok antar negara yang dilakukan oleh investor atau buyer antar negara.
Akibat pandemi covid juga banyak terjadi pekerja / buruh yang dirumahkan, diliburkan, bahkan dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan sebagai akibat sejumlah perusahaan mengalami penurunan produksi bahkan berhenti produksi.
Dari sisi pekerja, terjadi gelombang PHK tenaga kerja dan penurunan pendapatan sebagai akibat terganggunya kegiatan usaha pada sebagian sektor. Bagi pekerja atau buruh, pandemi covid juga setidaknya menimbulkan 6 dampak yang berpengaruh terhadap pekerja atau buruh diantaranya : Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan, bekerja sebagian, pengurangan gaji, pemaksaan pengunduran diri (resign), dan tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR).
Begitupun dari sisi pengusaha, pandemi Covid-19 menyebabkan menurunnya kegiatan usaha dan rendahnya kemampuan bertahan pengusaha dalam masa pandemi.
Pandemi Covid tersebut juga berpengaruh pada perdagangan, investasi dan pertumbuhan menyusut secara global dan nasional – dengan dampak merugikan pada ekonomi, bisnis (terutama UKM) dan pekerja; penutupan bisnis dan kehilangan pekerjaan keduanya meningkat dan beberapa mungkin tidak akan pernah pulih; pendapatan tenaga kerja telah turun karena pengurangan jam kerja dan kehilangan pekerjaan.
Gangguan yang disebabkan oleh pandemi covid sangat berpengaruh terhadap hubungan perburuhan, dan fakta menunjukkan diibanyak negara termasuk Indonesia terjadi banyak PHK dan pengurangan tenaga kerja. Dan tidak sedikit juga buruh yang dirumahkan dan bekerja dari rumah, bahkan banyak juga buruh yang tidak bayar upah atau pesangonnya.
Dan pandemi covid 19 juga telah memberikan pelajaran berharga pada kita, dimana krisis akibat pandemi tersebut telah mengungkap keterbatasan model pembangunan berbasis ekspor yang mengandalkan rantai pasok serta ketidakcukupan kebijakan ketenagakerjaan, upah dan perlindungan sosial yang saat ini lazim di banyak negara – ke depan, dialog sosial & budaya hubungan industrial kolaboratif akan sangat penting dalam mendorong pemulihan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Fakta menunjukkan, bahwa akibat Pandemi Covid tersebut buruhlah yang menjadi pihak paling banyak dirugikan dan tidak punya kekuatan yang cukup untuk menghadapi berbagai kebijakan yang dianggap sangat merugikan bagi kaum buruh. Termasuk pada masa Pandemi Covid juga pemerintah seolah menemukan momentumnya untuk mengurangi derajat upah minimum bagi pekerja atau buruh dengan masa kerja 0 tahun.
Masih Ada Cerita Baik dari Perjuangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Ditengah banyaknya cerita yang memprihatinkan dan merugikan bagi kaum buruh akibat pengalaman wabah covid dan juga perubahan kebijakan pemerintah yang merugikan kaum buruh, masih banyak juga cerita baik yang dilakukan oleh serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan – perusahaan atau di daerah – daerah.
Disaat Pandemi Covid 19, ketika terjadi di berbagai tempat banyak buruh yang upahnya tidak dibayar atau dikurangi, pesangonnya tidak dibayar atau dikurangi, THR-nya tidak dibayar atau dicicil, upah lemburnya tidak dibayar atau dikurangi dan sejenisnya.
Tapi ada cerita baik, dari perusahaan – perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang karyawannya tergabung menjadi anggota SP TSK SPSI, dimana baik saat terjadi Covid 19 memang banyak anggota SP TSK SPSI di Kabupaten Sukabumi yang menjadi korban PHK atau pengurangan tenaga kerja tapi pesangonnya dibayarkan sesuai aturan, begitupun upahnya tidak ada yang dikurangi, begitupun THR nya tidak ada yang dicicil atau tidak dibayarkan.
Begitupun pasca covid 19, dimana aturan omnibus law efektif diberlakukan. Sampai saat ini perusahaan – perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang karyawannya tergabung dan menjadi anggota SP TSK SPSI dan sebelumnya sudah mempunyai PKB atau Perjanjian Kerja Bersama masih bertahan untuk memberlakukan norma lama yang dinilai lebih baik dibanding aturan baru dalam UU Cipta Kerja dan aturan turunannya.
Dan disaat dibanyak daerah dan banyak perusahaan, tidak bisa menyepakati kenaikan upah untuk pekerja 1 tahun keatas karena tidak terbitnya Keputusan Gubernur untuk upah pekerja 1 tahun keatas, di semua perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang karyawannya tergabung menjadi anggota SP TSK SPSI masih bisa menyepakati kenaikan upah untuk karyawan dengan masa kerja 1 tahun keatas, walaupun kenaikannya jauh dari apa yang diharapkan.
Tapi lumayan untuk menambah kenaikan upah minimum yang nilainya sangat kecil, dan lebih lumayan lagi dibandingkan perusahaan – perusahaan di Kabupaten Sukabumi yang karyawannya tidak tergabung dengan SP TSK SPSI yang helas tidak ada kenaikan upah untuk pekerja 1 tahun keatas.
Fakta diatas menunjukkan bahwa ditengah buruknya aturan dan situasi, kita masih bisa mempertahankan norma – norma yang baik dan menguntungkan buruh, ketika kita mau bekerja keras dan melakukan terobosan.
Begitupun sebaliknya, sebaik apapun situasi dan aturan ketika buruh atau serikat pekerjanya tidak berdaya, maka tidak sedikit yang justeru memberlakukan atau menyepakati kesepakatan dibawah aturan normatif yang seharusnya diberlakukan. Satu contoh misalnya saat UU No. 13 Tahun 2003 masih efektif semuanya berlaku, tidak sedikit pekerja atau buruh di banyak perusahaan yang upah lemburnya tidak sesuai aturan, pesangonya dibayarkan tidak sesuai aturan, kontrak kerjanya tidak sesuai aturan dan lainnya.
Lalu mau kemana jalan kita selanjutnya ?
Ketika Omnibus Law Cipta Kerja yang dianggap merugikan buruh sudah efektif diberlakukan pemerintah, pertanyaannya : apakah kita akan terus berdebat soal Omnibus Law tersebut ? atau kita akan menghabiskan energi sendiri untuk terus melakukan demo jalanan untuk menentang Omnibus Law ?
Yang perlu kita ketahui, bahwa aturan yang sudah diundangkan tentu akan tetap diberlakukan oleh pemerintah walaupun kita menentangnya. Bukan berarti kita setuju dengan UU yang diberlakukan tersebut, tapi mau gak mau kita harus menerimanya karena UU itu sudah diundangkan melalui mekanisme yang benar versi pemerintah..
Begitupun dengan pertanyaan apakah mau demo jalanan terus ? Tentu, demo atau aksi unjuk rasa itu merupakan jalan terakhir yang harus kita lakukan dan itupun dengan kaidah mitigasi resiko yang harus matang kita pertimbangkan.
Karena terlalu sering demo juga kalo tanpa target dan kalkulasi yang jelas, apalagi dengan jumlah kecil dan tingkat keberhasilan yang tidak jelas ibarat memberi antibodi terhadap penyakit, dan hanya akan membuat nilai demo itu menjadi tidak punya nilai dimata para pemangku kepentingan, baik itu pengusaha maupun pemerintah, atau malah jadi bahan tontonan dan hiburan aja.
Hal yang paling rasional bisa kita lakukan ditengah ruang sempit dan menyulitkan kita itu adalah dengan mencari celah agar kita tetap bisa bergerak dan tidak menjadi korban konyol dari aturan yang merugikan kita.
Dan beberapa ikhtiar yang bisa dilakukan serikat pekerja atau serikat buruh yang bisa dilakukan ditengah situasi sulit tersebut, agar tidak menajdi korban konyol dari aturan omnibus law yang merugikan itu diantaranya adalah :
- Penguatan Organisasi Serikat Pekerja / Serikat Buruh
Penguatan yang dimaksud disini bukan sekedar memperkuat semangat anggota untuk demo atau aksi unjuk rasa, tapi lebih kepada peningkatan kapasitas pemberdayaan anggota dan pengurus melalui :
- Pendidikan dan pelatihan
- Peningkatan soliditas anggota, khususnya pada level ujung tombak di perusahaan.
- Peningkatan pengetahuam anggota dan pengurus.Peningkatan pengetahuan ini bukan sekedar pemahaman terhadap aturan perburuhan, tapi juga pengetahuan tentang proses produksi di perusahaan, pengetahuan tentang rantai pasok yang dilakukan perusahaan.
- Dan usaha sejenis lainnya.
- Penguatan Sosial Dialog
Perlu diketahui bahwa yang menjadi subyek utama dalam hubungan industrial di perusahaan adalah pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha. Yang tahu hitam putihnya perusahaan, untung ruginya perusahaan, cerah atau gelapnya masa depan perusahaan, yang tahu proses produksi di perusahaan, yang tahu masalah dan tidak bermasalahnya perusahaan adalah pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan.
Maka atas dasar kondisi tersebut, hal – hal yang menyangkut kondisi dan syarat kerja, pemenuhan kepentingan dan hak – hak normatif buruh bikomunikasikan atau didialogkan antara serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan.
Tapi ada prasyarat dasar ketika kita ingin berhasil dalam melakukan sosial dialog itu adalah adanya kesetaraan dan keterbukaan. Dan ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi kita semua, karena biasanya pengusaha tidak punya keterbukaan terkait keuangan dan untung ruginya perusahaan. Perusahaan biasanya terbuka disaat perusahaan mengalami kerugian, tapi disaat untung biasanya tidak terbuka.
- Penguatan PKB atau Perjanjian Kerja Bersama
Hal yang berbeda dari hukum publik lainnya seperti hukum pidana, sebenarnya hukum perburuhan banyaknya (kecuali yang menyangkut tindak pidana) masuk pada wilayah hukum privat atau hukum kesepakatan.
Celah ini semestinya bisa dimanfaatkan oleh pekerja / buruh / serikat pekerja / serikat buruh di perusahaan untuk memperjuangkan nasibnya atau nasib para anggotanya melalui perundingan PKB. Walaupun dari beberapa pengalaman yang ada, perjuangan melalui perundingan PKB ini melewati jalan terjal dan berliku.
Karena pengusaha tetaplah pengusaha dengan prinsif ekonomi klasik ala Adam Smith dengan modal sekecil – kecilnya tapi dapat untung yang sebesar – besarnya, sementara pekerja atau serikat pekerja tetap bersikukuh pada pendirian untuk perlindungan peningkatan kesejahteraan buruh apapun situasinya.
Situasi itu sebenarnya bisa dicarikan jalan tengah dengan membangun sosial dialog yang intens antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha, tapi lagi – lagi harus dibarengi itikad baik dari kedua belah pihak dengan memenuhi syarat kesetaraan dan keterbukaan.
Karena tanpa pemenuhan syarat kesetaraan dan keterbukaan, hanya akan melahirkan distorsi dalam hubungan industrail yang ujungnya melahirkan konflik dan bisa mengganggu keberlangsungan perusahaan itu sendiri.
Tapi penguatan PKB menjadi salah contoh nyata saat ini, dimana Omnibus Law Cipta Kerja sudah diberlakukan, tapi banyak perusahaan yang tidak memberlakukan ketentuan dalam Omnibus Law beserta aturan turunannya tapi masih berpegang pada norma sebelumnya yang dianggap lebih baik, karena dengan bermodal kesepaatan dalam Perjanjian Kerja Bersama atau PKB ini.
- Perkuat Jaringan / Networking
Produksi barang yang dilakukan banyak perusahaan khususnya perusahaan padat karya baik di Sukabumi maupun daerah lainnya kebanyakan dilakukan perusahaan asing dengan investor asing, yang dalam praktek rantai pasoknya banyak melibatkan para pihak atau pemangku kepentingan terutama adalah buyer atau pihak brand atau pembeli internasional.
Ada kecenderungan bagi perusahaan asing dengan produk yang berorientasi eksport, mereka lebih mendengar atau lebih takut pada pihak pemberi order atau buyer ketimbang pihak – pihak dalam negeri seperti dinas atau pemerintah daerah.
Kondisi diatas, tentu harus dimanfaatkan oleh serikat pekerja atau serikat buruh di perusahaan atau perangkat serikat pekerja diatasnya untuk memperkuat jaringan dengan pihak brand atau buyer dimana dia memberi order kepada perusahaan dan beberapa pihak lain seperti NGO diluar negera tujuan eksport barang tersebut yang concern terhadap pemenuhan hak buruh di negara produsen dan juga perlindungan konsumen di negara tujuan eksport.
Disamping hal tersebut diatas, tentu dengan para pemangku kepentingan di daerah seperti dinas tenaga kerja, pengawas, pemerintah daerah, lingkungan dan beberapa pemangku kepentingan lainnya di daerah dan di pusat harus diperkuat, karena penguatan jaringan dengan pihak – pihak atau para pemangku kepentingan tersebut akan memudahkan jalan untuk menyampaikan tuntutan aspirasi.
Penutup
Ada Firman Tuhan yang mengajarkan kepada kita : Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang atau suatu kaum, kalo orang atau kaum itu tidak merubah nasibnya sendiri. Tentu, ajaran seperti ini harus menjadi spirit bagi kita khususnya para anggota, pengurus, aktivis serikat pekerja atau serikat buruh untuk terus mencari celah dan terobosan ditengah sempitnya ruang dan ditengah sulitnya aturan yang tidak berpihak pada kaum buruh.
Dan yang namanya perjuangan tentu tidak tunggal, tidak hanya sekedar demo atau sekedar berteriak di jalanan saja tapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah memuliakan diri kita agar kita bisa berdaya agar kita diperhitungkan dan suara kita bisa di dengar oleh para pemangku kepentingan.
Terus berjuang !
Jangan lupa memberdayakan diri..
Disampaikan oleh Mochammad Popon / Ketua SP TSK SPSI Kab Sukabumi Pada Kegiatan Diskusi Panel Dalam Rangka Refleksi Mat Day yang diselenggarakan oleh SP TSK SPSI Kab Sukabumi Pada tanggal 1 Mei 2024 di Hotel Augusta Sukabumi.